Benarkah Nabi Sering Mengalami Lupa dari Allah Sehingga Butuh Istighfar 100 Kali?
Semua sudah mafhum bahwa Rasulullah setiap hari tidak kurang dari membaca istighfar 70 kali atau 100 kali. Fenomena ini mengundang kemusykilan, untuk apa Nabi beristighfar bukankah Nabi sudah digaransi Allah dihapus seluruh dosanya? Pro-kontra bermunculan sebagai konsekuensi logis bahwa kita bukanlah seorang nabi dan bukan pula orang yang selalu mendampingi Nabi Muhammad 24 jam. Pro-kontra terjadi karena kita hanya bisa menebak. Beruntung ada ulama yang memberikan penjelasan yang bersanad sampai Rasulullah. Berikut pemaparan Al-Qadhi ‘Iyadh dalam Kitab Asy-Syifa Bi Ta’rif Huquq Al-Mushthafa.
Jika dikatakan, maka apa makna sabda Nabi, “Sesungguhnya qalbuku tertutup oleh sesuatu, maka aku beristighfar kepada Allah setiap hari seratus kali,” dan dalam riwayat lain, “lebih dari tujuh puluh kali setiap hari.” Maka berhati-hatilah jangan sampai terlintas dalam benakmu bahwa yang dimaksud dengan “tertutup” [al-ghain] itu adalah waswas atau keraguan yang masuk ke dalam qalbu Nabi. Sesungguhnya asal makna al-ghain ialah sesuatu yang menutupi qalbu, sebagaimana dikatakan Abu ‘Ubaid, asal katanya dari ghain as-sama` yaitu tertutupnya langit oleh awan. Dan yang lain mengatakan, al-ghain adalah sesuatu yang meliputi qalbu namun tidak menutupinya secara sempurna, seperti awan tipis yang melintas di udara, yang tidak menghalangi cahaya matahari. Demikian halnya hadits ini tidak dipahami bahwa qalbu Nabi tertutup seratus kali atau lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari, karena lafazh yang disebutkan dalam riwayat-riwayat yang lebih banyak tidak berkonsekuensi demikian; jumlah hitungan tersebut hanyalah untuk istighfar, bukan untuk tertutupnya qalbu. Yang dimaksud dengan tertutupnya qalbu (dengan al-ghain) ialah isyarat kepada kelengahan qalbu beliau, kelemahan jiwa, dan kelupaan dari terus-menerus berdzikir serta menyaksikan Al-Haqq, akibat apa yang beliau hadapi sebagai manusia: beban mengurus umat, menghadapi keluarga, berhadapan dengan pemimpin maupun musuh, menjaga maslahat pribadi, serta menanggung tugas berat menyampaikan risalah dan memikul amanat; meski dalam semua itu beliau tetap dalam ketaatan kepada Tuhannya dan ibadah kepada Penciptanya. Namun karena beliau adalah makhluq yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah, paling mulia derajatnya, paling sempurna pengetahuannya, maka ketika qalbunya sedang bersih dan jiwanya hanya tertuju penuh kepada Allah, keadaan itu merupakan kondisi tertinggi beliau; lalu beliau memandang masa-masa di mana qalbunya teralihkan atau sibuk dengan selain Allah sebagai suatu penurunan dari kedudukan agung tersebut, maka beliau beristighfar kepada Allah. Penafsiran inilah yang paling utama dan paling masyhur, dan ke arah makna inilah banyak orang condong meski belum sempurna menjelaskannya, kami telah mendekatkan makna yang tidak jelas itu, dan mengungkapkan hakikatnya kepada orang yang istifadah (mencari faedah), yang dibangun atas dasar kemungkinan adanya kelengahan, kealpaan, dan lupa yang tidak terkait dengan penyampaian wahyu, akan ada penjelasannya nanti.
Dari sini kita mendapatkan kesimpulan yang bagus agar kita tidak sekali-kali berprasangka buruk apalagi berkeyakinan buruk kepada Nabi hanya karena nalar kita tidak nyandak. Mari kita ikuti nalar para ulama Salaf.
Redaktur: H. Brilly Y. Will., S.Pd., M.Pd., C.Ed.

