Headline

Harlah Jatman, Rois Idaroh Wustho Jatim Sampaikan Pesan Sufi

Peringatan Harlah ke-68 JATMAN Jawa Timur di PWNU Surabaya Menjadi Momentum Meneguhkan Kembali Nilai Adab dan Akhlak Mulia

risalahsufi.id – Idaroh Wustho Jatman Jatim menggelar peringatan Hari Lahir (Harlah) Jatman ke 68 di Gedung PWNU Jawa Timur. Dalam kesempatan tersebut, Rois Jatman Jatim KH. Fathul Huda sejumlah tausiyah penting bagi keluarga besar Jatman Jatim dan kepada seluruh pengamal thoriqot pada umumnya, Sabtu (11/10/2025).

Dalam tausiyahnya, Kiai Huda menyampaikan tentang tata krama dan adab, terutama dalam kaitannya dengan kehidupan spiritual (seperti dalam thariqah) dan kehidupan sosial sehari-hari.

1. Makna Dasar: Tata Krama dan Adab

Secara etimologis:

Tata krama berasal dari bahasa Sanskerta tata (aturan, susunan) dan krama (urutan, langkah), berarti aturan perilaku yang teratur dan sopan sesuai konteks sosial dan budaya.

Adab berasal dari bahasa Arab adabun, yang berarti etika, sopan santun, atau perilaku yang baik. Dalam Islam, adab bukan hanya persoalan sosial, tetapi juga dimensi spiritual, yakni kesopanan terhadap Allah, Rasul, dan sesama manusia.

Jadi, tata krama lebih menekankan pada aturan sosial lahiriah, sedangkan adab mencakup aturan batiniah — akhlak, niat, dan kesucian hati.

2. Adab dalam Pandangan Islam

Dalam Islam, adab merupakan bagian dari akhlāq al-karīmah (akhlak mulia) yang mencerminkan keimanan seseorang. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad)

Adab bukan sekadar tata sopan santun, tapi merupakan manifestasi iman dan cinta kepada Allah. Misalnya:

Adab terhadap Allah: tunduk, ikhlas, dan tawakal.

Adab terhadap Rasulullah: mencintai sunnahnya, meneladani akhlaknya.

Adab terhadap sesama: menghormati, jujur, rendah hati, dan empati.

Adab terhadap diri sendiri: menjaga kehormatan, kebersihan, dan keseimbangan hidup.

3. Adab dalam Dunia Thariqah (Tasawuf)

Dalam dunia thariqah, adab menempati posisi yang sangat tinggi. Para ulama sufi menekankan bahwa adab adalah pintu menuju ma‘rifah (pengenalan kepada Allah).

Imam al-Junaid al-Baghdadi berkata:

“Adab adalah akar dari segala kebaikan. Siapa yang memperbaiki adabnya, maka Allah akan memperbaiki zahir dan batinnya.”

Dalam hubungan murid dan mursyid (guru spiritual), adab menjadi fondasi:

Adab murid kepada guru: taat, tawadhu‘, tidak membantah, dan menjaga kehormatan guru.

Adab sesama ikhwan (saudara se-thariqah): saling menolong, tidak sombong, tidak iri, dan menjaga ukhuwah.

Adab dalam berzikir: menghadirkan hati, membersihkan niat, dan menyesuaikan diri dengan adab majelis dzikir.

Dengan kata lain, adab adalah bentuk latihan jiwa (riyādhah nafsiyyah) yang mengantarkan seseorang dari akhlak tercela menuju maqam yang mulia.

4. Dimensi Sosial dan Kebangsaan

Dalam kehidupan sosial, tata krama dan adab menjadi dasar peradaban. Bangsa yang besar lahir dari masyarakat yang beradab.
Ki Hajar Dewantara bahkan menyebut pendidikan sejati adalah:

“Menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka menjadi manusia dan anggota masyarakat yang beradab.”

Artinya, tujuan pendidikan bukan hanya mencerdaskan pikiran, tapi juga membentuk moral dan perilaku beradab:

Menghormati orang tua, guru, dan pemimpin.

Berempati kepada sesama.

Menjaga sopan santun dalam berbicara, berpakaian, dan bermedia sosial.

Menghargai perbedaan suku, agama, dan pandangan.

5. Relevansi dengan Kehidupan Modern

Dalam dunia modern yang serba cepat, nilai-nilai adab sering tergerus oleh pragmatisme, hedonisme, dan individualisme. Maka, membangkitkan kembali kesadaran adab berarti mengembalikan ruh kemanusiaan yang hilang.
Adab membatasi manusia agar tidak dikuasai oleh hawa nafsu dan teknologi.

Contohnya:

Adab digital: menggunakan media sosial dengan sopan, tidak menyebar fitnah.

Adab ilmiah: jujur dalam penelitian, menghargai pendapat ilmuwan lain.

Adab profesi: bekerja dengan integritas dan niat ibadah.

6. Kesimpulan

Tata krama dan adab bukan sekadar aturan lahiriah, melainkan cerminan kedalaman spiritual dan kematangan moral seseorang.
Dalam Islam dan tradisi keilmuan Nusantara, adab selalu ditempatkan lebih tinggi daripada ilmu — sebagaimana kata Imam Malik kepada Imam Syafi‘i muda:

“Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.”

Oleh karena itu, orang yang berilmu tanpa adab akan menimbulkan kerusakan, sedangkan orang beradab walau ilmunya sedikit akan membawa kedamaian. (admin)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button