Jejak Risalah Al-Qushayriyah dalam Tradisi Tasawuf Nusantara

Risalah Sufi – Imam Abu al-Qasim al-Qushayri (986–1072 M) adalah ulama besar yang dikenal sebagai ahli fikih Syafi‘i sekaligus tokoh sufi berpengaruh. Karyanya yang monumental, Al-Risalah al-Qushayriyya, telah menjadi rujukan utama tasawuf Sunni selama hampir sepuluh abad. Kitab ini disusun sebagai pembelaan terhadap tasawuf agar tetap berjalan seiring dengan syariat, menegaskan bahwa jalan ruhani tidak boleh tercerabut dari akidah Ahlussunnah wal Jamaah.
Dari Haramayn ke Nusantara
Pemikiran Al-Qushayri menyebar ke Asia Tenggara melalui para ulama Nusantara yang belajar di Haramayn (Makkah dan Madinah) pada abad ke-17 hingga 19. Di masjid dan madrasah, Al-Risalah menjadi bagian dari kurikulum tarekat besar seperti Syattariyah dan Naqsyabandiyah.
Ulama-ulama besar Nusantara, seperti Syekh Abdul Rauf Singkel, sering menyitir konsep maqāmāt (tahapan spiritual) dalam karya mereka. Begitu pula Syekh Nawawi al-Bantani, yang mengintegrasikan pemikiran Al-Qushayri dalam kitab Nashā’ih al-‘Ibād. Melalui karya-karya inilah, ajaran Al-Risalah meresap ke dalam kehidupan keagamaan masyarakat kita.
Menyatu dengan Kearifan Lokal
Kekuatan Al-Risalah tidak hanya terletak pada kedalaman ilmunya, tetapi juga pada kemampuannya menyatu dengan budaya setempat. Di Jawa, konsep tawakkul diterjemahkan dalam istilah nerima ing pandum. Dalam sastra suluk, seperti Suluk Wujil, ajaran mahabbah (cinta Ilahi) disampaikan dalam bentuk syair yang dekat dengan masyarakat.
Dalam Al-Risalah, Al-Qushayri menulis:
“Al-tawakkul huwa thibāt al-qalbi ‘inda al-muwāqi‘, wa sukunuhu tahta ajrāni al-maqādīr”
(Tawakkul adalah keteguhan hati dalam menghadapi ketentuan, dan ketenangan jiwa di bawah naungan takdir).
Pesantren dan dayah di Nusantara pun mengajarkan maqāmāt seperti zuhud, sabar, dan ikhlas dengan mengacu pada kerangka Al-Risalah. Dengan cara ini, tasawuf Sunni hadir tidak hanya sebagai jalan spiritual, tetapi juga sebagai etika sosial yang membentuk akhlak santri dan umat.
Penjaga Ortodoksi
Salah satu peran penting Al-Risalah ialah meneguhkan ortodoksi tasawuf. Kitab ini menolak praktik-praktik ekstrem yang tidak sesuai syariat, sekaligus mengajarkan keseimbangan antara ritual, akidah, dan akhlak.
Al-Qushayri menegaskan:
“Man lam yahfaz al-Qur’ān wa lam yaktub al-hadīth, lā yu‘tabaru bi qawlihi fī hādhā al-sha’n.”
(Barang siapa tidak menjaga al-Qur’an dan tidak menulis hadis, maka tidak dapat diambil perkataannya dalam perkara ini [tasawuf]).
Pernyataan ini menjadi pedoman bahwa jalan sufi sejati harus berdiri di atas syariat, bukan semata-mata pengalaman spiritual pribadi.
Warisan yang Hidup
Hingga kini, Al-Risalah al-Qushayriyya tetap menjadi sumber inspirasi. Naskah-naskah syarahnya dalam bahasa Jawi dan Arab Pegon masih bisa ditemukan di berbagai pesantren. Di ranah akademik global, kitab ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Inggris dan Jerman, dan menjadi bahan kajian para orientalis maupun sarjana Muslim kontemporer.
Meski sesekali mendapat kritik dari kalangan tertentu, Al-Risalah membuktikan dirinya sebagai karya yang mampu menjembatani Islam global dan lokal, sekaligus meneguhkan bahwa tasawuf sejati tidak pernah bertentangan dengan syariat.
Penulis : Abdullah Isa
Editor : Aniq Ubaidillah



